Jakarta Keterbatasan anggaran dari negara memaksa para hakim mengetatkan ikat pinggang untuk bisa hidup. Tidak hanya di luar Jawa, di Jawa Barat yang tingkat perekonomian lebih terjangkau pun kesejahteraan hakim masih jauh dari layak.
"Suami saya dinas di kabupaten tetangga. Berangkat Senin pagi pulang Jumat. Di sana nginep di rumah dinas ketua pengadilan, ramai-ramai dengan 5 hakim lainnya," ujar istri hakim Abduh, Eni saat berbincang dengan detikcom, Sabtu, (7/4/2012).
Rumah dinas tersebut berada di sebelah kantor pengadilan dan berhimpitan dengan mushola. Jangan pernah berpikir rumah dinas ukuran 6x9 meter tersebut ada unsur kemewahan. Sebab mereka harus berbagi kasur di lantai untuk bisa merebahkan badan di kala malam datang.
"Kalau makan beli di Warung Tegal (Warteg) atau Nasi Padang," ujar Eni.
Berdinas di Jawa Barat pun didapati setelah 14 tahun bertugas di utara Sulawesi. Saat pertama bertugas di Sulawesi, mereka menumpang di rumah kepala sekolah SD. "Kalau ngontrak sendiri mahal. Kebetulan saya kenal dengan kepala sekolah SD tersebut dan diberi kemurahan hati numpang di rumah tersebut karena tidak ditempati. Jadinya, oleh tetangga suami saya dikira guru SD," cerita Eni.
Jika hakim di Jawa Barat masih berdesak-desakan dalam satu rumah dinas untuk bernaung, maka di Kalimantan lebih miris lagi. Para hakim ada yang bertahun-tahun menginap di kantor pengadilan untuk menyiasati penghasilan yang pas-pasan. Sebab untuk mengontrak rumah, uang dari gaji tidak mencukupi. Sedangkan rumah dinas tidak ada.
"Kalau siang jadi ruang kantor, malamnya menggelar kasur di selasar meja ruang kerja," ujar seorang hakim yang tidak mau disebut namanya.
0 komentar:
Post a Comment